Mbah Mangun menderita sakit keras. Ia menderita kanker paru-paru yang sudah menyebar ke seluruh tubuh. Seluruh keluarga sudah berkumpul di rumah sakit. Sementara itu Mbah Mangun tampak makin kesulitan menghadapi saat-saat terakhir hidupnya.
Seorang anaknya berinisiatif untuk menghadirkan seorang ulama untuk memimpin doa. Tak lama kemudian, Pak Ahmad, ulama yang dimaksud sudah berada di rumah sakit, dan langsung disediakan tempat tepat di sisi tempat tidur Mbah Mangun.
Pak Ahmad berbisik di telinga Mbah Mangun, membimbingnya mengucapkan syahadat dan istighfar. Pak Ahmad juga meminta Mbah Mangun menyampaikan pesan-pesan terakhirnya. Mbah Mangun tampak ingin mengatakan sesuatu, tetapi nampak sangat kesulitan dan megap-megap karena sesak napasnya.
Kemudian dengan segera seorang anaknya menyodorkan kertas dan bolpen. Dengan kesulitan pula Mbah Mangun menulis sesuatu di atas kertas. Namun sesaat setelah selesai menulis, ia menghembuskan napas yang terakhir.
Seluruh keluarga yang memang sudah pasrah langsung membaca doa-doa mengantar kepergian Mbah Mangun. Surat yang ditulis Mbah Mangun sebelum menghembuskan napas yang terakhir belum sempat dibaca dan disimpan oleh Pak Ahmad yang duduk di sisinya.
Beberapa hari setelah pemakaman, selesai acara doa bersama, seluruh keluarga berkumpul untuk membicarakan wasiat peninggalan Mbah Mangun. Sampai akhirnya tiba pada giliran membuka surat yang ditulis Mbah Mangun sesaat sebelum meninggal.
Seluruh keluarga menanti dengan perasaan ingin tahu yang dalam. Dengan tulisan yang sulit dibaca, di kertas itu tertera, "Mad, awas, kamu menginjak selang oksigen Mbah.